Senin, 26 November 2007

Bush Berupaya Selamatkan Pertemuan Annapolis

WASHINGTON, SENIN – Di tengah egara-bayang kegagalan pertemuan Annapolis, Presiden AS George W Bush berupaya keras menyelamatkan pertemuan untuk merumuskan perdamaian Israel-Palestina itu. Seharian penuh, Senin (26/11), Bush mengadakan pertemuan terpisah dengan para negosiator kedua pihak di Gedung Putih. Ia berusaha mempertemukan kesepakatan kedua pihak sebelum memulai perundingan di Annapolis Maryland, Selasa (27/11). “Secara pribadi saya berkomitmen untuk menjalankan visi saya tentang dua egara demokratis, Palestina dan Israel yang hidup berdampingan berdasarkan perdamaian dan keamanan. Keduanya sudah lama menantikan ini,” kata Bush kepada wartawan, Senin. Sukses pertemuan Annapolis ini menjadi perdamaian Timur Tengah menjadi prioritas pemerintahannya hingga berakhir pada Januari 2009. Oleh karena itu banyak pihak, terutama egara-negara Arab yang menilai, pertemuan Annapolis itu kepentingan nama baik pemerintahan Bush. Hingga Senin belum dicapai kesepakatan tentang bagaimana seharusnya pertemuan Annapolis itu dijalankan. Palestina ingin ada pernyataan tentang batas egara, status Yerusalem Timur, dan nasib jutaan pengungsi Palestina yang terusir akibat pembentukan egara Israel pada 1948. Sementara Israel menginginkan isu-isu itu dibahas kemudian, tetapi menekankan pembentukan dua egara yang berdampingan secara damai. Bila tak ada secuil pun kesepakatan dalam pertemuan itu, proses perdamaian selanjutnya pun terancam. Saling tidak percaya akan semakin tebal di antara kedua pihak. Di satu sisi, Bush senang karena 16 negara Arab hadir, termasuk Liga Arab. Namun egara-negara Arab agaknya tidak sepenuh hati dan skeptis terhadap efektivitas pertemuan itu. Syiria, misalnya, menyatakan egara ke Annapolis dengan membawa kepentingannya sendiri. Negara yang terlibat perang dengan Israel selama enam egara itu berharap ega menggunakan forum itu untuk mendapatkan kepastian soal pengembalian Dataran Tinggi Golan
yang dicaplok Israel dalam perang 1967. Atas kemungkinan gagalnya pertemuan Annapolis itu, Menteri Luar Negeri Swedia Carl Bildt memperingatkan bahwa Presiden Palestina Mahmoud Abbas ega terguling. Meski ia juga yakin, kalau berhasil pertemuan itu bakal menjadi titik penting proses perdamaian Palestina-Israel. “Semua orang menyadari, jika pembicaraan itu gagal, situasi di kawasan itu akan memburuk secara egara. Presiden Abbas akan dengan mudah hilang dari sisi Palestina dan digantikan egara yang lebih egarae,” ujar Bildt, Senin (26/11). Dengan kemungkinan ini, impian terbentuknya egara Palestina dan Israel yang berdampingan semakin jauh atau menguap begitu saja. Sementara itu pemimpin spiritual Iran, Ayatollah Ali Khamenei, menyebut pertemuan Annapolis itu hanya untuk menyelamatkan muka AS yang sejak lama gagal mendorong perdamaian di Timur Tengah. Menurut Khamenei, pertemuan itu bukan untuk melindungi hak rakyat Palestina. “Hari ini semua politisi semakin tahu bahwa pertemuan itu sudah gagal. AS dan sekutunya masih berharap mempertahankan reputasinya lewat konferensi ini dan mengompensasi kegagalan rezim palsu Zionis,” tandas Khamenei dalam pidato yang disiarkan egarae pemerintah hari ini.(ap/afp/reuters/sas) 2. Prancis Kecam Rencana Referendum Taiwan
BEIJING, SENIN – Prancis agaknya sedang sangat dekat dengan China. Setelah mendapatkan proyek pembangunan dua egara nuklir senilai Rp 104 triliun dari China, Prancis melancarkan kecamannya terhadap rencana referendum Taiwan untuk menjadi anggota PBB. Dalam kunjungan resmi di Beijing, Senin (26/11), Sarkozy mengatakan negaranya mendukung kebijakan Satu China. Ia tetap menganggap referendum Taiwan yang digagas Presiden Chen Shui Bian itu merupakan langkah awal menuju kemerdekaan. “Setiap prakarsa sepihak bagi satu referendum di Taiwan,” kata Sarkozy dalam perundingan dengan Presiden Hu Jintao.

Namun kecaman dari sekutu AS dan China itu tidak menggoyahkan niat Chen. Ia tetap menjadwalkan referendum, untuk menentukan keanggotaan pulau itu dalam PBB, bersamaan dengan pemilu presiden pada 22 Maret 2008. Washington mengecam keras langkah itu. Deputi Menlu John Negroponte, Agustus lalu menyebut tindakan itu sebagai langkah menuju deklarasi kemerdekaan penuh. Taiwan yang memakai nama resminya Republik China, kehilangan keanggotaan di PBB dan diambil alih China tahun 1971. Usaha-usaha dalam 14 tahun belakangan ini untuk kembali bergabung dalam badan dunia itu dengan memakai nama “Taiwan” berulangkali dihambat Beijing.(ANTARA/SAS)

Tidak ada komentar: